Powered By Blogger

Sabtu, 06 November 2010

SEJARAH ISLAM

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
Pendahuluan
Risalah Islam dilanjutkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. di Jazirah Arab pada abad ke-7 masehi ketika Nabi Muhammad saw mendapat wahyu dari Allah swt. Setelah kematian Rasullullah s.a.w. kerajaan Islam berkembang hingga Samudra Atlantik dan Asia Tengah di Timur.
Namun, kemunculan kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Umayyah, Abbasiyyah, Turki Seljuk, dan Kekhalifahan Ottoman, Kemaharajaan Mughal, India,dan Kesultanan Melaka telah menjadi kerajaaan yang besar di dunia. Banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat dan sebagainya muncul dari negeri-negeri Islam terutama pada Zaman Emas Islam. Karena banyak kerajaan Islam yang menjadikan dirinya sekolah.
Di abad ke-18 dan 19 masehi, banyak daerah Islam jatuh ke tangan Eropa. Setelah Perang Dunia I, Kerajaan Ottoman, yaitu kekaisaran Islam terakhir tumbang.
Jazirah Arab sebelum kedatangan Islam merupakan sebuah kawasan yang dilewati oleh jalur sutera. Kebanyakkan Bangsa Arab merupakan penyembah berhala dan sebagian merupakan pengikut agama Kristen dan Yahudi. Mekah adalah tempat suci bagi bangsa Arab ketika itu karana terdapat berhala-berhala mereka dan Telaga Zamzam dan yang paling penting sekali serta Ka'bah yang didirikan Nabi Ibrahim beserta Ismail.
Nabi Muhammad saw. dilahirkan di Mekah pada Tahun Gajah yaitu 570 masehi. Ia merupakan seorang anak yatim sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia. Muhammad akhirnya dibesarkan oleh pamannya, Abu Thalib. Muhammad menikah dengan Siti Khadijah dan menjalani kehidupan yang bahagia.
Namun, ketika Nabi Muhammad saw. berusia 40 tahun, beliau didatangi Malaikat Jibril Sesudah beberapa waktu Muhammad mengajar ajaran Islam secara tertutup kepada rekan-rekan terdekatnya, yang dikenal sebagai "as-Sabiqun al-Awwalun(Orang-orang pertama yang memeluk Islam)" dan seterusnya secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekah.
Pada tahun 622 masehi, Muhammad dan pengikutnya hijrah ke Madinah. Peristiwa ini disebut Hijrah. Peristiwa lain yang terjadi setelah hijrah adalah pembuatan kalender Hijirah.
Penduduk Mekah dan Madinah ikut berperang bersama Nabi Muhammad saw. dengan hasil yang baik walaupun ada di antaranya kaum Islam yang tewas. Lama kelamaan para muslimin menjadi lebih kuat, dan berhasil menaklukkan Kota Mekah. Setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat, seluruh Jazirah Arab di bawah penguasaan Islam.
[sunting] Islam di Indonesia
Islam telah dikenal di Indonesia pada abad pertama Hijaiyah atau 7 Masehi, meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar hanya melalui perdagangan dengan para pedagang muslim yang berlayar ke Indonesia untuk singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, yang berlangsung beberapa abad kemudian. Salah satu bukti peninggalan Islam di Asia Tenggara adalah dua makam muslim dari akhir abad ke 16
Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan, dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara lain,
• Sunan Ampel
• Sunan Bonang
• Sunan Muria
• Sunan Gunung Jati
• Sunan Kalijaga
• Sunan Giri
• Sunan Kudus
• Sunan Drajat
• Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
• Characters: 10592
• Lines: 203
• Words: 1353
• Sentences: 215
• Paragraphs: 181

• PENGANTAR CETAKAN KEDUA (2/9)

• PEMBELA-PEMBELA ORIENTALIS

• Yang mula-mula saya terima sebagai sanggahan ialah adanya
• sebuah karangan yang disampaikan kepada saya oleh seorang
• penulis bangsa Mesir yang menyebutkan, bahwa itu adalah
• sebuah terjemahan bahasa Arab dari artikel yang
• dikirimkannya ke sebuah majalah Orientalis berbahasa Jerman,
• sebagai kritik atas buku ini. Artikel ini tidak saya siarkan
• dalam surat-surat kabar berbahasa Arab, karena isinya hanya
• berupa kecaman-kecaman yang tidak berdasar. Oleh karena itu
• terserah kepada penulisnya jika mau menyiarkannya sendiri.
• Saya rasa nama orang itupun tidak perlu disebutkan dalam
• pengantar ini dengan keyakinan bahwa dia sudah akan mengenal
• identitasnya sendiri sesudah membaca sanggahannya itu dimuat
• di sini. Artikel itu ringkasnya ialah bahwa penyelidikan
• yang saya lakukan tentang peri hidup Muhammad ini bukan
• suatu penyelidikan ilmiah dalam arti modern, sebab saya
• hanya berpegang pada sumber berbahasa Arab saja, tidak pada
• penyelidikan-penyelidikan kaum Orientalis sebangsa Weil,
• Goldziher, Noldeke dan yang lain; bukan mengambil dari hasil
• penyelidikan mereka, dan karena saya menganggap Qur'an
• sebagai dokumentasi sejarah yang sudah tidak diragukan,
• padahal studi Orientalis-orientalis itu menunjukkan bahwa
• Qur'an sudah diubah dan diganti-ganti setelah Nabi wafat dan
• pada permulaan sejarah Islam, dan bahwa nama Nabipun pernah
• diganti. Semula bernama "Qutham" atau "Quthama." Sesudah itu
• kemudian diganti menjadi "Muhammad" untuk disesuaikan dengan
• bunyi ayat, "Dan membawa berita gembira kedatangan seorang
• rasul sesudahku, namanya Ahmad," sebagai isyarat yang
• terdapat dalam Injil tentang nabi yang akan datang sesudah
• Isa. Dalam keterangannya penulis itu menambahkan bahwa
• penyelidikan kaum Orientalis itu juga menunjukkan, bahwa
• Nabi menderita penyakit ayan, dan apa yang disebut wahyu
• yang diturunkan kepadanya itu tidak lain adalah akibat
• gangguan ayan yang menyerangnya; dan bahwa gejala-gejala
• penyakit ayan itu terlihat pada Muhammad ketika sedang tidak
• sadarkan diri, keringatnya mengalir disertai kekejangan,
• dari mulutnya keluar busa. Bila sudah kembali ia sadar
• dikatakannya bahwa yang diterimanya itu adalah wahyu, lalu
• dibacakan kepada mereka yang percaya pada apa yang diduga
• wahyu dari Tuhan itu.

• Sebenarnya saya tidak perlu menghiraukan karangan semacam ini
• atau pada sanggahannya kalau tidak karena penulisnya itu
• seorang Mesir dan Muslim pula. Andaikata penulisnya itu
• seorang Orientalis atau misi penginjil, akan saya biarkan
• saja ia bicara menurut kehendak nafsunya sendiri. Apa yang
• sudah saya sebutkan pada kata pengantar dan dalam teks buku
• ini sudah cukup sebagai argumen yang akan menggugurkan
• pendapat mereka itu. Bagaimanapun juga penulis surat ini
• adalah sebuah contoh dari sebagian pemuda-pemuda dan
• orang-orang Islam yang begitu saja menyambut baik segala apa
• yang dikatakan pihak Orientalis dan menganggapnya sebagai
• hasil yang benar-benar ilmiah, dan berdasarkan kebenaran
• sepenuhnya. Kepada mereka itulah tulisan ini saya alamatkan
• sekadar mengingatkan tentang adanya kesalahan yang telah
• dilakukan oleh kaum Orientalis. Ada pula kaum Orientalis
• yang memang jujur dalam penyelidikan mereka, meskipun
• tentunya tidak lepas dari kesalahan juga.

• SEBAB-SEBAB KESALAHAN ORIENTALIS

• Kesalahan-kesalahan demikian itu terselip dalam
• penyelidikannya kadang disebabkan oleh kurang telitinya
• memahami liku-liku bahasa Arab, kadang juga karena adanya
• maksud yang tersembunyi dalam jiwa sebagian sarjana-sarjana
• itu, yang tujuannya hendak menghancurkan sendi-sendi salah
• satu agama, atau semua agama. Ini adalah sikap
• berlebih-lebihan yang selayaknya dihindarkan saja oleh
• kalangan cendekiawan. Kita melihat ada juga orang-orang
• Kristen yang begitu terdorong oleh sikap berlebih-lebihan
• ini sampai mereka mengingkari bahwa Isa pernah ada dalam
• sejarah.

• Yang lain kita lihat bahkan sudah melampaui batas-batas yang
• berlebih-lebihan itu dengan menulis tentang Isa yang sudah
• gila misalnya.

• Timbulnya pertentangan antara gereja dengan negara di Eropa
• itu telah pula menyebabkan kalangan sarjana di satu pihak
• dan kaum agama di pihak lain hendak saling mencari
• kemenangan dalam merebut kekuasaan.

• Sebaliknya Islam, sama sekali bersih dari adanya
• pertentangan serupa itu. Hendaknya mereka yang mengadakan
• penyelidikan di kalangan Islam dapat menghindarkan diri dari
• kekuasaan nafsu demikian ini, yang sebenarnya telah menimpa
• orang-orang Barat, dan sering menodai penyelidikan
• sarjana-sarjana itu. Juga hendaknya mereka berhati-hati bila
• mempelajari hasil yang datang dari Barat, yang berhubungan
• dengan masalah-masalah agama. Segala sesuatu yang telah
• dilukiskan oleh para sarjana sebagai suatu kebenaran,
• hendaklah diteliti lebih seksama. Banyak di antaranya yang
• sudah terpengaruh begitu jauh, sehingga telah menimbulkan
• permusuhan antara orang-orang agama dengan kalangan ilmu
• pengetahuan secara terus-menerus selama berabad-abad.

• BUKU BIOGRAFI PENULIS-PENULIS ISLAM SEBAGAI PEGANGAN

• Apa yang disebutkan dalam karangan si Muslim berbangsa Mesir
• yang saya ringkaskan itu sudah suatu bukti perlunya ada
• sikap berhati-hati. Pertama-tama ia menyalahkan saya karena
• saya masih berpegang pada sumber-sumber Arab sebagai dasar
• penyelidikan saya; dan ini memang tidak saya bantah.
• Sungguhpun begitu buku-buku kalangan Orientalis seperti yang
• saya sebutkan dalam bibliografi, juga saya pakai. Akan
• tetapi, sumber-sumber bahasa Arab selalu saya pergunakan
• sebagai dasar pertama dalam pembahasan ini. Dan
• sumber-sumber bahasa Arab ini jugalah yang dipakai sebagai
• dasar pertama dalam penyelidikan-penyelidikan kaum
• Orientalis itu semua.

• Ini wajar sekali. Sumber-sumber tersebut - terutama sekali
• Qur'an - adalah yang pertama sekali bicara tentang sejarah
• hidup Nabi. Sudah tentu itu jugalah yang menjadi pegangan
• dan dasar bagi setiap orang yang ingin menulis biografi
• dengan gaya dan metoda sekarang. Baik Noldeke, Goldziher,
• Weil, Sprenger, Muir atau Orientalis lain semua berpegang
• pada sumber-sumber itu juga dalam penyelidikan mereka,
• seperti yang saya lakukan ini. Dalam membuat pengamatan dan
• kritik, mereka menempuh cara yang bebas, demikian juga saya.
• Dalam hal ini juga saya tidak mengabaikan beberapa sumber
• buku Kristen yang lama-lama yang menjadi pegangan mereka,
• sekalipun mereka masih terdorong oleh fanatisma agama
• Kristen, dan samasekali bukan oleh kritik ilmiah.

• Kalau ada orang yang menyalahkan saya karena saya tidak
• terikat oleh kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh
• beberapa kaum Orientalis itu, atau karena saya sampai hati
• tidak sependapat dengan mereka dan malah melakukan kritik
• terhadap mereka, maka dalam bidang ilmiah yang demikian itu
• adalah suatu pendirian yang beku sekali, yang tidak kurang
• pula beku dan kolotnya dari pendirian yang bagaimanapun
• dalam bidang intelektual ataupun rohani. Saya rasa tidak
• seorangpun dari kalangan Orientalis itu sendiri yang akan
• menyetujui sikap beku demikian itu dalam bidang ilmiah.
• Andaikata ada di antara mereka yang dapat membenarkan sikap
• demikian, tentu ia akan membenarkan juga sikap beku itu
• dalam bidang agama.

• Tidak saya inginkan dua hal ini terjadi, baik terhadap diri
• saya atau terhadap siapapun yang mau bekerja dalam
• penyelidikan sejarah atas dasar ilmiah yang sebenarnya. Apa
• yang saya lakukan dan saya ajak orang lain akan dapat
• melakukannya ialah mengamati hasil-hasil studi yang
• dilakukan orang lain itu. Apabila ia sudah merasa puas oleh
• pembuktian yang meyakinkan, maka tentu itulah yang kita
• harapkan. Kalau tidak, lakukan sendirilah supaya ia dapat
• mencapai kebenaran itu dengan keyakinan bahwa ia sudah
• berhasil.

• Ke arah inilah saya ajak pemuda-pemuda kita dan orang-orang
• yang mengagumi hasil-hasil penyelidikan kaum Orientalis itu,
• dan memang ini pula yang saya lakukan. Saya akan merasa
• sudah mendapat imbalan sebagai orang yang berhasil,
• sekiranya pekerjaan ini memang sudah tepat; sebaliknya saya
• akan dapat dimaafkan kiranya sebagai orang yang mencari
• kebenaran dengan tujuan yang jujur dalam menempuh jalan itu,
• jika ternyata saya salah.

• ORIENTALIS DAN KETENTUAN-KETENTUAN AGAMA

• Sebagai bukti atas agitasi beberapa kaum Orientalis yang
• ingin menghancurkan ketentuan-ketentuan agama dengan
• cara-cara mereka yang berlebih-lebihan itu, ialah pendirian
• si Muslim bangsa Mesir yang telah menulis karangan tersebut,
• bahwa hasil-hasil studi kaum Orientalis itu menunjukkan,
• bahwa Qur'an bukan suatu dokumen sejarah yang tidak boleh
• diragukan, dan bahwa Qur'an sudah diubah-ubah setelah Nabi
• wafat dan pada masa permulaan sejarah Islam, yang dalam pada
• itu lalu ditambah-tambah dengan ayat-ayat untuk
• maksud-maksud agama atau politik. Saya bukan mau berdiskusi
• atau mau berdebat dengan penulis karangan itu dari segi
• Islamnya dia sebagai Muslim - atas apa yang sudah ditentukan
• oleh Islam, bahwa Qur'an itu Kitabullah, yang takkan
• dikaburkan oleh kepalsuan, baik pada mula diturunkan atau
• kemudian sesudah itu. Dia sependirian dengan golongan
• Orientalis, bahwa Qur'an dikarang oleh Muhammad, padahal dia
• percaya juga, bahwa Kitab itu adalah wahyu Allah kepada
• Muhammad seperti pendapat beberapa kaum Orientalis, dan
• karena ingin menguatkan isi karangannya atas apa yang
• disebutnya itu, dikatakannya bahwa Qur'an menurut pendapat
• yang sebagian lagi adalah memang wahyu Allah. Jadi baiklah
• saya berdialog dengan dia menurut bahasanya atas dasar dia
• sebagai orang yang berpikir bebas, yang tidak mau terikat
• oleh apapun kecuali atas dasar yang telah dibuktikan oleh
• ilmu pengetahuan dengan cara yang benar-benar meyakinkan.


• (bersambung ke bagian 3)

• ---------------------------------------------
• S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D

• oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
• diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

• Penerbit PUSTAKA JAYA
• Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
• Cetakan Kelima, 1980

• Seri PUSTAKA ISLAM No.1



BAGIAN PERTAMA: ARAB PRA-ISLAM (1/4)
Muhammad Husain Haekal

Sumber peradaban pertama - Agama Yahudi dan Kristen
- Sekta-sekta Kristen dan Pertentangannya - Majusi
Persia di jazirah Arab - Jalan-jalan kafilah - Yaman
dan peradabannya - Sebabnya Jazirah bertahan pada
paganisma.

PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana
pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya dengan
zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama
menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam
ribu tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu
dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu
sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.
Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali
mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan
maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia
serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam
peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa
Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa
itu dan terpengaruh karenanya?

Apapun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi
dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah
sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian
benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan
hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber
peradaban pertama - baik di Mesir, Funisia atau Asiria - ada
hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir adalah pusat
yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani
atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup
kita sekarang ini, masih erat sekali hubungannya dengan
peradaban pertama itu.

Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam
penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak pernah memberi
pengaruh yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban
Fira'un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan
dan perkembangan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini baru
terjadi sesudah ada akulturasi dan saling-hubungan dengan
peradaban Islam. Di sinilah proses saling
pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah
sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban
dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.

Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar
ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di
Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai
saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian,
perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan
manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan
pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa
sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir
Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang
memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup kembali di
negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak,
dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran,
kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari
gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; demikian sesudah
itu timbul perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran
semacam itu dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah
mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sumber
semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah dunia,
yang begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini,
sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri
dan melawan sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa
tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.

Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan
peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam
lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa
agama-agama yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir
dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan
diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama
kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia
alam.

Setelah datang ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat
di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: "Akulah
tuhanmu yang tertinggi" iapun berhadapan dengan Firaun sendiri
dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia
bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina.
Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah
yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik
kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan
agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan
pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam
penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini
tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia
ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan
Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di
Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan
dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama
beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua
yang berada di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin
mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini,
berada di bawah panji agama Masehi itu.

Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji
dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di
Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di
India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang
membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya
suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban
Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia
ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan
itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah
berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut,
baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya
masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam,
kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing
merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan
kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi
kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara
mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.

Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Rumawi
dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di
ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja
Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat
agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan
menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah
ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu pula
membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan
upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat
pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan
dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti
berada di pihak Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari
tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu
tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian
rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua
kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.

Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam
pada itu pertentangan antara Rumawi dengan Bizantium makin
meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua
Eropa sampai ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa
generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia
dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah
mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan
kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang
menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah
tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan
mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini
telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang
tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah
beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan
besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.

Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari zaman ke
zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam
sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai
pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan
dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara
golongan-golongan satu sama lain karena perbedaan pandangan
itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa
oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat
sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam
fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di
antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa
Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang tampak pada
manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara
jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal
dan pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya;
dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam,
sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan
sesudah melahirkan Almasih.

Terjadinya pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa
itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan
zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya
terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap
kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan
bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah
dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal dan hanya
dapat dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku
saja.

Salah seorang pendeta gereja berkata: "Seluruh penjuru kota
itu diliputi oleh perdebatan. Orang dapat melihatnya dalam
pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang,
pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar
sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan
tentang apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan.
Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan
dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk
kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam mandi
adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab:
"Putera telah diciptakan dari yang tak ada."

Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia
terpecah-belah kedalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu
dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap
Kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh.
Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan
tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang
melibatkan diri kedalam polemik teologi atau sampai memasuki
pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna
memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah
diambil oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan
yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua
golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan
polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan
Kerajaan dalam bidang administrasi tanpa mengurangi
penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya
bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan
bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan
pihak yang berkuasa itu.

Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu
itulah pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap
berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi sampai
ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan
persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai
kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di
sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke
Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang
pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai
Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari
pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga
demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu
beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia
Majusi.

Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami
kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau
dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang
paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan
kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga
menjadi golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi disini
bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu
kekuasaan politik Persia tetap kuat juga. Polemik keagamaan
tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang
tergambar dibalik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya.
Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung
di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan
itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara
supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar
kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau
salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.

(bersambung ke bagian 2/4)

---------------------------------------------
S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980

Seri PUSTAKA ISLAM No.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar